KELISTRIKAN

Potensi PLTA Indonesia 70.000 MW


Indonesia mempunya potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 70.000 mega watt (MW). Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen atau 3.529 MW atau 14,2 persen dari jumlah energi pembangkitan PT PLN.

Hal ini dikatakan oleh Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto dan Dirut PT PLN Fahmi Mochtar, dalam Seminar Nasional Bandungan Besar Indonesia Tahun 2008 dan Rapat Anggota Tahunan Komite Nasional Indonesia Bendungan Besar di Hall PT Pembangkit Jawa Bali Kantor Pusat, di Surabaya, Rabu (2/7/08).

"Betapa banyak potensi sumber daya air yang saat ini masih belum dimanfaatkan dan terbuang sia-sia," kata Joko dihadapan ratusan peserta seminar. Lalu Joko membandingkan dengan negara-negara bekas Uni Sovyet yang disebut Commonwealth of Independen States (CIS). Gabungan potensi hydropower di CIS mencapai 98.000 MW dengan jumlah bendungan sekitar 500 buah dengan keseluruhan daya terpasang PLTA 66.000 MW atau sekitar 67 persen dari potensi yang tersedia.

Peluang pembangunan PLTA di Indonesia katanya masih besar, apalagi Indonesia masih dilanda kesulitan bahan bakar minyak (BBM). Pemanfaatan sumber daya air sebagai salah satu sumber energi primer yang terbarukan bisa disinergikan dengan memanfaatkan air untuk meningkatkan ketahanan pangan.

Selain itu, PLTA juga menjadi jawaban untuk pembangkit tenaga yang tidak menghasilkan CO2 seperti dihasilkan bahan bakar fossil meski ada yang menuduh peningkatan CO2 diatmosfir terjadi akibat pembangunan bendungan dan beroperasinya waduk. Karena itu pada pencanangan energi 10.000 MW berikutnya diharapkan 7000 diantaranya dari tenaga air. "Indonesia mempunyai jumlah air permukaan terbanyak ke lima di dunia," paparnya.

Joko menjelaskan, belum lama ini ada tiga buah bendungan mulai beroperasi yaitu bendungan Kedung Brubus Jatim, Tibukuning di Lombok dan bendungan Pernek di Sumbawa. Dua bendungan lainnya yang masih dibangun bendungan Nipah dan Bajulmati di Jatim.

Di Jateng bendungan Gonggong dan Panohan. Bendungan Jatigede di Jabar, bendungan Karian di Banten, bendungan Benel di Bali. Selain itu ada pembangunan bendungan Beriwit dan Marangkayu di Kalimatan Timur, bendungan Ponre-Ponre di Sulawesi, di Nusa Tenggara Timur ada bendungan Haekrit dan bendungan Keuliling di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pemerintah juga membangun bendungan Upper Cisokan pumped storage di Jabar yang masih dalam proses persetujuan desain dan pembangunan bendungan PLTA Asahan 3 di Sumatera Utara. Jumlah bendungan di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan Saudi Arabia pada 2006 lalu melelang pembangunan 41 buah bendingkan.

"Peluang yang banyak untuk membangun bendungan di tanah air belum dimanfaatkan secara optimal, padahal krisis energi dan ketahanan pangan bisa diselesaikan dengan ini," paparnya.

Meski demikian, tantangan yang dihadapi pembangunan bendungan diantaranya masalah sosial, erosi di daerah tangkapan dan sedimentasi pada waduk. Akibatnya umur waduk tak suseai dengan yang direncanakan. "Ini tantangan besar yang harus diselesaikan secara serentak oleh berbagai pihak," tegasnya.

Sementara Dirut PLN Fahmi Mochtar, menambahkan biaya operasi rata-rata per kWh pembangkit hydro adalah paling rendah dibanding pembangkit tipe yang lain hanya Rp 140/kWh. Saat ini PLN mengelolaz dan mengoperasikan pembazngkit hydro dengan skala besar dan kecil yang tersebar di Indonesia.

Unit pembangkit hydro berjumlah 203 unit dengan total kapasitas terpasang sekitar 3.529 MW dan produksi energi sekitar 8.759 GWh. PLN katanya mendorong pengembangan pembangkit hydro cdengan bendungan, diantaranya pembangunan bendungan Serbaguna Jatigede, Jabar (108 MW), PLTA Kusan, Kalimantan (135 MW), bendungan Upper Cisokan Pumped Storage Hydroelectric Plant, Jabar (1000 MW), bendungan Rajamandala Jabar (35 MW), PLTA Genyem, Papua (20 MW), PLTA Poigor 2 Sulawesi Utara (20 MW), dan bendungan PLTA Asahan 3 Sumatera Utara (150 MW)